Informasi Edukasi Melalui Internet

Sunday, July 14, 2013

Zaman Batu Madya Mesolithikum Pra Sejarah

Zaman Batu Madya Mesolithikum Pra Sejarah - Zaman Mesolithikum (Zaman Batu Madya - Batu Tengah) - Dua hal yang menjadi ciri Zaman Mesolithikum mempunyai tiga bagian penting yang dapat diringkaskan sebagai berikut: mesolitikum: pebble-culture (terutama di kjokkenmoddinger), bone-culture, dan flakes-culture (terutama di abris sous roche) ( Soekmono, 1973: 43).

Zaman Batu Madya Mesolithikum Pra Sejarah

Pebble Culture
1. Kjokkenmoddinger (Sampah Dapur)
Kjokkenmoddinger berasal dari bahasa Denmark. Kjokken berarti dapur dan modding berarti sampah. Jadi, kjokkenmoddinger adalah sampah-sampah dapur. Kjokkenmoddinger merupakan timbunan kulit siput dan kerang yang menggunung. Di dalam Kjokkenmoddinger ditemukan banyak kapak genggam. Kapak tersebut berbeda dengan chopper (kapak genggam dari Zaman Palaeolithikum).
Kapak genggam tersebut dinamakan pebble atau Kapak Sumatra berdasarkan tempat penemuannya. Di samping pebble, ditemukan pula kapak pendek (hache courte) dan pipisan (batu bata penggiling beserta landasannya).

Gambar Kjokkenmoddinger - Sumber : Wikipedia.org

Suatu corak istimewa dari mesolitikum adalah adanya peninggalan-peninggalan yang disebut dengan perkataan Denmark Kjokkenmoddinger (kjokken= dapur, modding= sampah, jadi arti sebenarnya: sampah- sampah dapur). Didapatkannya di sepanjang pantai- pantai Sumatra timur laut, di antara Langsa, di Aceh dan Medan, beberapa puluh kilometer dari laut sekarang, tetapi dahulunya di tepi pantai ( Soekmono, 1973: 39).

Pada saat bukit- bukit itu pertama kali ditemukan, para ahli geologi mengira bahwa itu adalah suatu lapisan bumi yang istimewa, namun tidak demikian keadaannya. Pada tahun 1925 dan 1926 Callefens melakukan ekskavasi di sebuah bukit kerang dekat Medan, dan menghasilkan temuan kerang. Kerang-kerang yang berasal dari kulit kerang ini kemudian diteliti oleh van der Meer Mohr. Sebagian dari kerang terdiri dari Meretrix- meretrix dan sebagian kecil Ostrea (Soejono, 2010: 177)  Ternyata tumpukan yang awalnya dikira lapisan bumi, adalah tumpukan sisa-sisa kulit kerang. Di antara kerang itu mungkin ada yang dipergunakan sebagai alat tiup, alat minum, atau gayung air. Mungkin ada pula yang dijadikan sebagai perhiasan. Mungkin terdapat juga jenis kerang yang biasa untuk makan. Bekas-bekas itu menunjukkan telah adanya penduduk pantai yang tinggal dalam rumah- rumah bertonggak. Hidupnya terutama dari siput dan kerang. Siput-siput itu dipatahkan ujungnya, kemudian dihisap isinya dari bagian kepalanya. Sisa-sisa makanan mereka berupa rumah siput yang elah dipotong bagian ekornya dan kulit-kulit kerang dibuang pada suatu tempat sehingga membentuk ketinggian. Selama rarusan sampai ribuan tahun kemudian timbunan itu bereaksi secara kimiawi dan menjelma menjadi bukit karang, kemudian inilah yang dinamakan sampah dapur (lihat gambar 1).Cara makan siput yang seperti itu, masih banyak dilakukan oleh manusia zaman sekarang yaitu di daerah Pamekasan, Madura. Meskipun tidak secara umum, namun hal tersebut menunjukkan bahwa pola tingkah laku di zaman mesolitikum masih ada sampai sekarang.          

2. Pebble ( kapak genggam mesolitikum Sumatera = Sumateralith)
Tahun 1925, Dr. P.V. Van Stein Callenfels melakukan penelitian di bukit kerang tersebut dan hasilnya menemukan kapak genggam. Kapak genggam yang ditemukan di dalam bukit kerang tersebut dinamakan dengan pebble/kapak genggam Sumatra (Sumatralith) sesuai dengan lokasi penemuannya yaitu di pulau Sumatra (lihat gambar 2).

Gambar Kapak Genggam Mesolitikum Sumatera

Bahan-bahan untuk membuat kapak tersebut berasal batu kali yang dipecah-pecah dengan rincian sisi luar yang sudah halus tidak dibilah , sedangkan sisi dalamnya (tempat belah) dikerjakan lebih lanjut sesuai dengan kebutuhan (Soekmono, 1973: 39).
Antara perkakas kuno zaman paleolitik dengan perkakas zaman Mesolitik terdapat perbedaan. Mesolitik berasal dari mesolithicum, mesos= tengah= madya atau pertengahan. Perkakas atau alat-alat Mesolitik sudah mulai digosok walaupun masih sangat kasar. Penggunaan alat-alat tersebut belum sempurna, artinya belum mempergunakan tangkai sebagai alat pemegang atau penyambung tangan. Penggunaannya sama dengan alat-alat paleolitik, yaitu digenggam (Kosoh, 1979: 20).
Menurut Heekeren (dalam Soejono, 2010: 176), sejumlah alat batu di Indonesia yang dikenal dengan kapak genggan Sumatra ini berasal dari Asia Tenggara dan ditemukan di Cina Selatan, Vietnam, Kamboja, Laos, dan Semenanjung Malaya. Hal ini menunjukkan bahwa Indonesia dan negara-negara tersebut memiliki hubungan unit kebudayaan yang sama. Di Indonesia, kapak genggam Sumatra ditemukan tersebar di pantai timur Sumatra Utara, yaitu di Lhok Seumawe dan Binjai (Tamiang).

3. Hachecourt (kapak pendek)
Selain pebble yang diketemukan dalam bukit kerang, juga ditemukan sejenis kapak tetapi bentuknya pendek (setengah lingkaran) yang disebut dengan hachecourt/kapak pendek. Melihat dari bentuknya, kemungkinan besar kapak pendek ini dibentuk dengan cara dipukul dan dipecahkan. Selain itu kapak ini tidak diasah. Entah ini benar- benar kapak atau bukan, karena bentuknya yang tidak jelas dan letak ketajamannya hanya terdapat pada ujung yang melingkar. Hal ini dikarenakan sebagian besar alatnya berbentuk lonjong dan dikerjakan pada satu sisi saja (monofacial hands-axe).

4. Pipisan
Selain kapak-kapak yang telah disebutkan di atas, di bukit karang juga ditemukan berbagai pipisan ( batu-batu penggiling beserta landasannya ) 
Pipisan ini rupanya tidak hanya untuk menggiling makanan, tetapi juga dipergunakan untuk menghaluskan cat merah sebagaimana ternyata dari bekas-bekasnya (Soekmono, 1973: 40). Kemungkinan besar warna merah ini diidentikkan dengan darah. Kebiasaan orang-orang terdahulu adalah melumuri badan dengan darah untuk menambah daya tahan dan kekuatan. Tridisi seperti itu masih dilakukan sampai sekarang oleh oran-orang yang masih bertahan dan percaya pada ajaran mistis, terutama sihir.      

Bone Culture
Zaman Batu Madya Mesolithikum Pra Sejarah - Tradisi pembuatan alat tulang dan tanduk tampaknya merupakan hal yang bersifat universal. Temuan tulang artefak sampai saat ini baru diketahui di daerah Wonosari, Gunung Kidul. Situs yang mengandung sejumlah besar alat terdapat di situs gua Braholo yang sampai saat ini masih diteliti oleh Pusat Penelitian Arkeologi Nasional.

Menurut Barnaouw (dalam Soejono, 2010:172), mengatakan bahwa hasil penelitian menunjukkan adanya kepadatan temuan artefak tulang berupa lancipan atau jarum, baik yang berujung tunggal maupun ganda, serta spatula dari tulang dan tanduk. Persebaran artefak tulang di wilayah Jawa Tengah diketahui berada di wilayah Blora, yaitu di situs Ngandong dan Siderojo.
Selain itu, berdasarkan alat-alat kehidupan yang ditemukan di gua Lawa di Sampung (daerah Ponorogo-Madiun, Jawa Timur), ditemukan alat-alat dari batu seperti ujung panah dan flakes, kapak yang sudah diasah, alat dari tulang, tanduk rusa, dan juga alat-alat dari perunggu dan besi. Oleh para arkeolog bagian besar dari alat-alat yang ditemukan itu adalah tulang, sehingga disebut sebagai Sampung bone culture. Peninggalan-peninggalan Sampung ini dapat disamakan dengan temuan-temuan di gua-gua Tonkin yang bercampur dengan temuan-temuan kapak Hoabinhiani ( Sumatralith) dan di bukit-bukit kerang di Dabut ( Vietnam Utara). Pada tingkat perkembangan kebudayaan gua-gua ini terdapat penemuan-penemuan sejenis di hampir seluruh Asia Tenggara ( Jambi, Sulawesi, Flores, Timor, Maluku, Irian, dan tercakup juga Gua Niah di Serawak, Gua Tabon di Filipina, dan lain-lain) (Soejono, 2010: 31).
Hal tersebut membuktikan bahwa hasil budaya mesolitikum di Indonesia memiliki persamaan dengan negara-negara di luar. Hal tersebut mungkin dikarenakan Indonesia
terletak di antara dua benua, yaitu Asia dan Australia. Sehingga selain mendapat pengaruh
iklim dari kedua benua tersebut, Indonesia juga mendapat pengaruh penyebaran hewan, penyebaran manusia dan penyebaran kebudayaan.

Flakes Culture
Tradisi serpih-bilah berkembang di beberapa daerah di Asia Tenggara, terutama di Indonesia. Di Indonesia sendiri tradisis ini menonjol pada kala pasca-Plestosen. Teknik pembuatan alat-alatnya melanjutkan teknik pada masa sebelumnya, tetapi bentuk alat-alatnya tampak lebih maju dalam berbagai corak untuk bermacam kegunaan. Kadang-kadang bentuknya kecil melalui teknik pengerjaan yang rumit. Bahan batu yang dipakai untuk membuat alat di antaranya adalah kalsedon, batu gamping, dan andesit. Tradisi serpih-bilah berlangsung dalam kehidupan di gua-gua Sulawesi dan pulau-pulau di Nusa Tenggara Timur, sedangkan di Jawa serpih-bilah tidak memainkan peran penting dalam konteks tradisi tulang.
Aspek teknologis menghadirkan cirri-ciri umum berupa dataran pukul yang disiapkan sebelum pelepasan, bulbus yang terjadi di bidang alas sebagai akibat pada tekanan kala pemangkasan, bekas pemangkasan serpih lain, dan retus-retus pengerjaan untuk penyempurnaan tajaman. Tipologi artefak yang dihasilkan cukup berfariasi. Menurut Simanjuntak (dalam Soejono, 2010: 166), tipe-tipe alat yang dihasilkan adalah sebagai berikut:
  1. Serut, dicirikan oleh keberadaan retus bersambung menutupi seluruh atau sebagian sisi alat. Jenis ini merupakan jenis yang dominan, dengan retus yang cenderung bersifat marginal. Serut terdiri dari empat tipe, yaitu serut samping, serut ujung, serut cekung, dan serut gigir.
  2. Serpih tanpa retus, kelompok ini memiliki ciri-ciri yang sama dengan serpih yang diretus untuk dijadikan alat dalam hal morfologi, teknologis, maupun metric.
  3. Serpih dengan retus pemakaian, cirri morfologisnya sama dengan serpih tanpa retus, bedanya ialah dalam hal kehadiran primping-perimping bekas pemakainan.
  4. Bilah dengan retus, memiliki cirri-ciri teknologis yang sama dengan serpih, dengan perbedaan pokok pada morfologi yang memanjang dengan kedua sisi lateral yang relative sejajar.
Menurut Soekmono (1973: 41, hasil budaya paling terkenal di flakes culture ini adalah abris sous roche.  Abris sous roche adalah gua-gua yang yang dijadikan tempat tinggal manusia purba pada zaman mesolithikum dan berfungsi sebagai tempat perlindungan dari cuaca dan binatang buas (lihat gambar 4).

4. Gambar Ilustrasi

Manusia purba menjadikan gua sebagai rumah. Kehidupan di dalam gua yang cukup lama meninggalkan sisa-sisa kebudayaan dari mereka. Abris sous roche adalah kebudayaan yang ditemukan di dalam gua-gua. Di daerah mana alat-alat tersebut ditemukan? Alat-alat apa saja yang ditemukan di dalam gua tersebut? Di Gua Lawa, Sampung, Ponorogo, Jawa Timur banyak ditemukan alat-alat, seperti flake, kapak, batu penggilingan, dan beberapa alat dari tulang. Karena di gua tersebut banyak ditemukan peralatan dari tulang, disebut Sampung Bone Culture. Selain di Sampung, gua-gua sebagai abris sous roche terdapat juga di Besuki, Bojonegoro, dan Sulawesi Selatan.

Penyelidikan pertama pada abris sous roche dilakukan oleh Dr. Van Stein Callenfels tahun 1928-1931 di gua Lawa dekat Sampung Ponorogo Jawa Timur. Alat-alat yang ditemukan pada gua tersebut antara lain alat-alat dari batu seperti ujung panah, flakes, batu pipisan, kapak yang sudah diasah yang berasal dari zaman mesolitikum, serta alat-alat dari tulang dan tanduk rusa.Di antara alat-alat kehidupan yang ditemukan ternyata yang paling banyak adalah alat dari tulang sehingga oleh para arkeolog disebut sebagai Sampung Bone Culture / kebudayaan tulang dari Sampung. Karena gua di Sampung tidak ditemukan pebble ataupun kapak pendek yang merupakan inti dari kebudayaan mesolitikum. Selain di Sampung, abris sous roche juga ditemukan di daerah Besuki dan Bojonegoro Jawa Timur. Penelitian terhadap gua di Besuki dan Bojonegoro ini dilakukan oleh Van Heekeren. abris sous roche juga ditemukan di daerah Timor dan Rote. Penelitian terhadap gua tersebut dilakukan oleh Alfred Buhler yang di dalamnya ditemukan flakes dan ujung mata panah yang terbuat dari batu indah (Soekmono, 1973: 41-42).
Abris sous roche ditemukan juga di Sulawesi Selatan, daerah Lamancong. Menurut catatan sejarah hasil penyelidikan tahun 1893 bahwa manusia yang mendiami daerah ini adalah orang Toala, suatu suku penduduk keturunan langsung dari zaman Prasejara, dan masih sekeluarga dengan suku bangsa Wedda dan Sailan. Dari penyelidikan lebih lanjut akhirnya dipastikan bahwa kebudayaan Toala termasuk dalam zaman batu tengah, yang hasilnya berupa flakes dan alat-alat tulang. Manusia yang hidup pada saat zaman


memilih gua sebagai tempat hunian dimungkinkan karena adnanya kesatuan kondisi geologi, ekologi, dan biologi yang saling menunjang dan disediakan oleh sebuah gua. Ketiga kondisi ini memungkinkan manusia dapat bertahan dan beradaptasi dengan lingkungannya untuk melanjutkan hidup dan menangkal sejumlah masalah yan disajikan oleh alam.
Sumber : http://zamanmesolithikumindonesia.blogspot.com

Artikel lainnya : Jenis Manusia Purba

Sekian artikel tentang Zaman Batu Madya Mesolithikum Pra Sejarah atau Zaman Batu Tengah, semoga bermanfaat dab menambah pengetahuan Anda semuanya dalam ilmu sejarah.

Zaman Batu Madya Mesolithikum Pra Sejarah Rating: 4.5 Diposkan Oleh: Admin